Baru saja, saat saya mengikuti kuliah Manajemen Koleksi,
muncul sebuah frasa baru yang menarik bagi saya. Meskipun frasa ini bukan
merupakan hal yang asing di dunia perpustakaan dan informasi, namun jujur ini
baru pertama kalinya saya mendengarnya. Frasa itu adalah "literatur
kelabu". Mungkin bagi anda yang sudah awam dengan dunia informasi sudah
mengetahui apa arti istilah diatas. Ya, setelah perkuliahan sore ini berakhir,
saya segera pulang ke rumah kontrakan saya dan menyalakan laptop, mencari arti
istilah literatur kelabu ini, atau yang dalam bahasa inggris disebut "grey
literature". Namun sebenarnya yang membuat saya lebih tertarik bukanlah
makna dari literatur kelabu, melainkan adalah, kenapa disebut literatur kelabu?
Pertama-tama, saya akan menjelaskan terlebih dahulu apa itu
literatur kelabu. Ada beberapa definisi literatur kelabu, namun intinya semua
bermakna sama. Menurut Perpustakaan Nasional Republik Indonesia atau PNRI, yang
dimaksud dengan literatur kelabu adalah karya ilmiah yang dihasilkan oleh
lembaga pendidikan. Di bawah lembaga pendidikan ada
Jurusan/departemen/laboratorium dst. Di jurusan ada komponen staf
pengajar/dosen dan mahasiswa. Dua komponen ini yang menghasilkan karya ilmiah
baik berupa thesis, disertasi dan laporan penelitian. Sementara itu, kegiatan
seminar juga dapat menghasilkan literatur kelabu dalam bentuk prosidings
atau dipublikasikan lewat majalah ilmiah. Sehingga literatur tersebut
tersebar pada panitia penyelenggara dan masing-masing peserta.
Kemudian, Puji Hastuti dalam blog-nya menyampaikan bahwa
literatur kelabu meliputi semua karya ilmiah dan non ilmiah yang dihasilkan
oleh suatu perguruan tinggi atau lembaga induk lainnya dari perpustakaan yang bersangkutan.
Yang termasuk literatur kelabu antara lain : Skripsi, tesis, disertasi; Makalah
seminar, simposium, konferensi,dan sebagainya; Laporan penelitian dan laporan
kegiatan lainnya; Publikasi internal, termasuk majalah, buletin, dan
sebagainya.
Dengan semua penjelasan itu, saya rasa anda sudah cukup
mengetahui gambaran tentang literatur kelabu. Nah, sekarang, penjelasan
utamanya, mengapa disebut literatur kelabu? Dengan bermodalkan modem dan sebiji
netbook, saya berusaha mencari artikel yang membahas mengenai penamaan
literatur kelabu ini. Tapi kemana-mana saya mencari, ternyata tidak ada.
Akhirnya dengan cukup desperate saya mencoba mencari ke situs-situs berbahasa
inggris. Alhamdulillah, di situs Universitas Australia Barat, saya menemukan
sepotong paragraf yang menjelaskan mengapa disebut literatur kelabu atau grey
literature. Menurut apa yang tertulis dalam situs tersebut, disebut literatur
kelabu karena literatur ini tidak diterbitkan secara formal pada sumber-sumber
informasi seperti buku dan jurnal. Berhubung saya masih belum paham secara
pasti, saya mencoba mencari definisi tunggal dari "kelabu" dan
penggunaan kata "kelabu" untuk istilah lain yang sekiranya membantu.
Setelah berkunjung kepada kakek Wikipedia, saya menemukan sesuatu yang menurut saya
memiliki hubungan yang cukup erat dengan masalah literatur kelabu ini. Berikut
saya kutip langsung dari Wikipedia :
"The substance that composes the brain is
sometimes referred to as grey matter, or "the little grey cells", so
the color grey is associated with things intellectual."
artinya "substansi yang membentuk otak seringkali
disebut sebagai "materi kelabu" atau "sel kecil kelabu",
jadi warna kelabu sering dihubungkan dengan hal-hal yang intelektual."
Jadi apabila penamaan literatur kelabu kita kaitkan dengan
pernyataan dari Wikipedia ini, bisa disimpulkan bahwa literatur kelabu, yang
notabene berkaitan dengan karya tertulis hasil penelitian, merupakan literatur
yang berisi konten-konten intelek. Sebagian besar literatur yang termasuk dalam
kategori literatur kelabu ini merupakan sumber informasi primer, sehingga dapat
dipastikan literatur kelabu ini memuat informasi berkualitas tinggi. Karenanya
tidak berlebihan apabila kita menyebut konten literatur kelabu dengan sebutan
konten yang intelek.
Plus, mungkin agak sedikit sulit dipahami, tapi ini hanya
opini saya saja, kata "kelabu" yang dalam bahasa inggris berarti
"grey" ini merupakan warna yang tercipta dari percampuran antara
warna hitam dan putih. Bisa disimpulkan bahwa apabila warna hitam dan putih
terletak di dua titik yang berbeda, warna kelabu berada diantara keduanya.
Begitupun literatur kelabu. Dalam pengertiannya, literatur kelabu ini tidak
dipublikasikan secara formal, namun jelas bahwa keberadaan literatur kelabu ini
dipandang sangat penting, dan diakui banyak pihak. Sementara itu ada pula
literatur yang diterbitkan secara formal seperti buku. Ada pula literatur yang
diterbitkan tidak secara formal, namun jelas keberadaannya walau masih
dipandang sebagai opini dan hanya beberapa pihak yang mengakui keabsahannya.
Ini bisa kita ibaratkan dua warna yang berlawanan tadi. Apabila literatur yang
diterbitkan secara formal kita upamakan sebagai warna putih, dan literatur yang
tidak diterbitkan secara formal dan belum diakui keabsahannya kita ibaratkan
sebagai warna hitam, maka literatur kelabu berada diantara keduanya. Kenapa,
karena literatur kelabu tidak diterbitkan secara formal sebagaimana literatur
perumpamaan warna putih, namun diakui keabsahannya sebagaimana literatur yang
diterbitkan secara formal, yang kita umpamakan sebagai warna hitam. Hasil
kesimpulan saya ini bisa juga menjadi salah satu pendapat kenapa disebut
sebagai literatur kelabu.
Kemudian, satu istilah lagi yang juga menarik minat saya,
"perpustakaan kelabu". Dosen saya, yang bercerita bahwa beliau
mendengar istilah ini dari salah seorang mahasiswanya, tidak tahu menahu
mengenai istilah ini. Dia pun bertanya kepada seorang yang dulu pernah menjadi
dosen pembimbing tesisnya, yang juga seorang guru besar di bidang ilmu
perpustakaan, Sulistyo Basuki. Dan nyatanya, Pak Sulistyo bilang tidak ada
istilah perpustakaan kelabu di dunia perpustakaan. Sedangkan mahasiswa dosen
saya yang menanyakan istilah tersebut bersikeras bahwa istilah itu memang ada.
Saya pun akhirnya jadi tertarik, dan memasukkan istilah itu dalam daftar yang
akan saya masukkan di mesin pencarian intenet. Hasilnya? Nol besar. saya juga
sudah mencari informasi berbahasa inggris, dan yang dapat saya temukan hanya
"perpustakaan kelabu" yang memang namanya dari sana sudah menyertakan
"kelabu". Jadi "kelabu" itu tidak masuk dalam kata
perpustakaan melainkan memang sudah menjadi nama instansi yang bersangkutan.
Walau begitu, setelah memastikan bahwa istilah perpustakaan kelabu memang tidak
ada di dunia ilmu perpustakaan, saya masih penasaran, kok bisa mahasiswa tadi
bersikeras bahwa istilah itu ada. Darimana dia dengar?
Kemudian, masih membahas mengenai istilah perpustakaan
kelabu, saya menemukan informasi yang cukup miris di situs PNRI. Disana
disebutkan, bahwa sampai saat ini literatur kelabu masih sulit untuk didapatkan
baik oleh pustakawan, juga oleh pemakai kalangan sendiri atau pemakai dari
luar. Sehingga pemerintah melalui kantor MENRISTEK merasa perlu untuk mengatur
mengenai literatur kelabu. Yaitu dengan dikeluarkannya KEPMEN Nomor:
/M/Kp/VII/2000 Tentang Penyampaian Literatur Kelabu (Grey Literatur) yang
berkaitan dengan Ilmu pengetahuan dan Teknologi. Nah, dari sini saya berpikir,
begitu susahnyakah mendapatkan literatur kelabu, sehingga harus dibuat
peraturan tersendiri yang mengatur mengenai pengumpulan literatur kelabu?
Setelah saya ingat-ingat, memang, jumlah literatur kelabu yang berada di
perpustakaan-perpustakaan yang pernah saya kunjungi berbanding amat sangat jauh
dengan koleksi terbitan formal seperti buku dan novel. Juga, dari KEPMEN yang
telah terbit tersebut, salinan literatur kelabu hanya diwajibkan untuk
dikirimkan ke Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi. Otomatis,
literatur kelabu hanya dimiliki oleh lembaga/instansi yang menerbitkannya dan
Kantor Menteri Negara Ristek. Ini sangat berbeda dengan koleksi terbitan formal
yang tersebar luas dengan jumlah eksemplar yang sangat banyak untuk satu judul
saja. Ini juga yang menjadi salah satu faktor utama minimnya jumlah literatur
kelabu di setiap perpustakaan.
Meski begitu, untuk begitu saja mengkopi setiap literatur
kelabu dan membaginya ke banyak perpustakaan juga dinilai kurang efisien.
Karenanya, solusi yang dapat ditawarkan adalah dengan memaksimalkan publikasi
literatur kelabu melalui dunia maya. Selain bisa diakses siapapun dan kapanpun,
ini juga bisa menjadi langkah penghematan kertas. Juga, sistem temu balik
informasi dapat diterapkan dengan lebih mudah dengan pemanfaatan media digital.
Nah, istilah perpustakaan kelabu bisa dipakai untuk menyebut perpustakaan
digital yang menyediakan literatur kelabu. Selain karena menyediakan literatur
kelabu, perpustakaan ini juga berada di dunia maya, dunia yang tidak
benar-benar nyata, atau masih samar-samar, sesuai dengan warna kelabu itu
sendiri. Bagaimana? Hehhe.
Referensi :
http://en.wikipedia.org/wiki/Grey
http://guides.is.uwa.edu.au/content.php?pid=180393&sid=1517495
http://www.pnri.go.id/MajalahOnlineAdd.aspx?id=51
http://pujihastuti.blogspot.com/2012/02/ragam-koleksi-perpustakaan.html
Referensi :
http://en.wikipedia.org/wiki/Grey
http://guides.is.uwa.edu.au/content.php?pid=180393&sid=1517495
http://www.pnri.go.id/MajalahOnlineAdd.aspx?id=51
http://pujihastuti.blogspot.com/2012/02/ragam-koleksi-perpustakaan.html
gamblang, terima kasih.
ReplyDelete