Kemajuan peradaban
manusia di abad ini adalah merupakan buah karya pengetahuan manusia yang terus
berkembang dari zaman ke zaman secara berkesinambungan. Begitu pula dengan
kemunculan buku, sebagai sarana perekam maha karya anak manusia yang tak lekang
oleh zaman, hingga saat ini masih diakui peranannya sebagai sarana
mengembangkan ilmu pengetahuan yang berguna untuk peradaban dimasa yang akan
datang.
Maka dari itu untuk
menemukan, mengkaji ulang dan mengembangkan pengetahuan yang tersimpan dalam
buku tersebut maka muncullah perpustakaan sebagai sarana untuk
memperoleh beragam informasi berupa pengetahuan, ketrampilan maupun pengalaman
yang sangat bermanfaat bagi pengembangan diri, sikap dan watak. Perpustakan
juga dapat menjadi tempat rekreasi yang bermanfaat bagi siswa dan masyarakat
untuk menambah informasi terkini yang mencakup kemampuan meneliti, memilih, dan
menelaah. Dengan demikian seseorang yang mahir mengelola informasi akan mampu
menciptakan pengetahuan baru.
Dengan manfaat yang
sedemikian rupa peran perpustakaan dalam lembaga pendidikan menjadi mutlak
adanya, karena ia dapat dikatakan sebagai gudang ilmu dan sumber referensi yang
lengkap dalam memenuhi kebutuhan akademik. Bila Banyak orang yang mengatakan
buku adalah jendela dunia dan jendela pengetahuan, maka perpustakaan adalah
rumah dunia dan rumah pengetahuan karena darinyalah kita bisa melihat, meneliti
dan membandingkan antara satu pengetahuan dengan pengetahuan lainnya. Dengan
begitu ia akan membuka cakrawala berpikir untuk masuk ke dunia yang lebih kaya
dan lebih luas.
Namun dengan semakin
maraknya perkembangan teknologi informasi dan semakin beragamnya media
pembelajaran yang memberi kemudahan audio visual. Perpustakaan dan buku kian
terpinggirkan. Belum lagi masalah budaya masyarakat indonesia yang cenderung
berpikir pragmatis dalam menyikapi kehidupan yang tentu sangat bertolak
belakang dengan tujuan perpustakaan yang mengajak manusia untuk berwawasan luas
dan bekerja secara cerdas. Pola baudaya masyarakat yang seperti inilah yang
belum ditanggapi secara optimal oleh pihak yang terkait dengan perpustakaan
dalam pola pengembangannya, buku-buku yang tersaji belum banyak yang mendukung
psikologi pembaca indonesia dan kebutuhan lingkungan. Sehingga tak heran
memasuki abad digital, wujud perpustakaan kian terabaikan.
Perkembangan zaman
dan budaya tentunya juga menuntut perkembangan perpustakaan yang efektif agar
tidak semakin ditinggalkan oleh masyarakat. Maka pola pengembangan perpustakaan
kedepannya perlu dilakukan secara internal dan eksternal. Secara internal dapat
dilakukan dengan perbaikan mutu dan kualitas pelayanan diperpustakaan yang
dibarengi dengan koleksi buku yang memadai baik yang based paper ataupun
yang based computer. Akses informasi yang up to date dan
cepat juga menjadi syarat dalam menapaki persaingan global. Secara eksternal
dapat dilakukan melakukan sinergisitas yang tepat guna antara pihak-pihak yang
terkait dengan perpustakaan.
Berdasarkan
permasalahan diatas maka pembahasan dalam artikel ini berusaha mengkaji dan
menemukan konsep perpustakaan ideal yang mampu diterima oleh masyarakat sebagai
tempat rekreasi ilmu pengetahuan yang menyenangkan, dengan tujuan dapat
meningkatkan kegiatan ilmiah dikalangan masyarakat melalui fungsi perpustakaan
sebagai media pembelajaran yang murah dan efisien. Sehingga cita-cita indonesia
cerdas ditahun 2025 dapat tercapai.
Landasan
Teori
Berdasarkan
Undang-undang no. 43 tahun 2007 tentang perpustakaan dikatakan bahwa
Perpustakaan adalah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak,
dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi
kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka.
Dengan fungsi sebagai wahana pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi,
dan rekreasi untuk meningkatkan kecerdasan dan keberdayaan bangsa yang
bertujuan memberikan layanan kepada pemustaka, meningkatkan kegemaran membaca,
serta memperluas wawasan dan pengetahuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Berdasarkan regulasi
di atas maka hendaknya pengembangan kualitas perpustakaan harus kepada
bagaimana dapat meningkatkan minat baca masyarakat yang
dibarengi dengan kuantiatas perpustakaan yang merata diseluruh pelosok
indonesia. Hal ini penting mengingat aktivitas membaca sendiri ternyata
memiliki banyak manfaat yang mungkin secara ilmiah belum banyak diketahui
masyarakat kita sacara universal. Sebuah studi mengatakan bahwa aktivitas
membaca dapat meningkatkan fungsi otak manusia. Yang melatar belakanginya
adalah manusia terlahir dengan 100 – 200 milyar sel otak yang siap dikembangkan
secara optimal, sehingga dapat menentukan intelegensi, kepribadian, dan
kualitas hidup seseorang. Dan dikatakan juga, produksi sel neurogial ( = sel
khusus yang terdapat pada unit dasar otak ) berkembang lebih tinggi karena
aktivitas membaca disebabkan adanya akselerasi proses berpikir. ( Thompson,
Berger, Berry dalam Clark, 1986 ).
Bila diamati secara
seksama, buku sebenarnya adalah produk budaya. Sama halnya dengan film, komik
dan jenis tayangan televisi disuatu negara. Semua adalah bentuk dari ekspresi
masyarakat atas apa yang mereka rasakan dan lalau dijawab dengan format
penayangan yang mereka butuhkan. Namun pertanyaannya adalah? Kenapa jenis
produk budaya yang berorientasi bisnis seperti film dan saudaranya lebih
diminati oleh masyarakat ketimbang membaca buku yang sama-sama merupakan produk
budaya. Jawabanyan ada pada pola penyajian dan tingkat kebutuhan yang menjadi
prioritas masyarakat. Jika mayoritas rakyat indonesia masih beranggapan bahwa
belajar dan membaca hanya untuk mencari gelar akademik saja atau persyaratan
mendapat kerja, maka selamanya perpustakaan hanya akan dikunjungi ketika ada
kebutuhan formal akademik saja. Belum menjadi kebutuhan mutlak dalam membangun
indonesia yang lebih baik.
Pembahasan
Kegiatan
perpustakaan sebenarnya tidak lepas dari kegiatan gemar membaca dan bukan hanya
sekedar gemar mengoleksi. Hal ini tentunya tidak akan pernah lepas dari budaya
masyarakat yang ada sebagai user perpustakaan itu sendiri. Pada
hakikatnya ada 3 jenis tahapan dalam proses membaca antara lain: tahapan
membaca secara teknis, dalam artian mereka hanya tahu bunyi sebuah tulisan atau
rangkaian huruf yang ada untuk dibaca. Yang kedua, tahapan membaca secara
fungsional, artinya mereka tahu apa yang dibacanya dan tahu implementasinya
untuk pekerjaannya, sedangkan yang berikutnya adalah tahapan membaca secara
budaya, artinya mereka tahu apa yang dibaca dan lebih kritis, serta dapat
memberikan wacana untuk pencerahan.
Namun faktanya masih
sedikit sekali bila dilihat dari total penduduk Indonesia yang masuk dalam
tahapan kedua dan ketiga seperti yang tersebut di atas. Kedua tahapan membaca
tersebut sebagian besar masih melibatkan kalangan intelektual negeri ini,
seperti mereka yang mengenyam pendidikan formal yang memadai, para pendidik,
mahasiswa, maupun praktisi. Fakta ini semakin menunjukkan bahwa pemerintah
selaku pembuat kebijakan tertinggi negeri ini belum mampu berbuat banyak dalam
tahapan proses membaca secara lebih jauh. Maka tak heran semangat memajukan
bangsa belum dibarengi dengan bekal intelektual yang memadai.
Masalah ini
sebenarnya berawal dari fenomena umum di negeri ini bahwa budaya lisan atau
budaya mendengar lebih kuat mengakar dalam tradisi masyarakat dibandingkan
budaya membaca. Hal ini terlihat pada realita yang sering kita temui di
masyarakat, semisal lebih suka mendengar cerita dari orang lain daripada
membaca sendiri, lebih gemar mengkritik daripada berkarya, lebih senang pada
tayangan-tayangan yang di-dubbing daripada harus membaca teks
terjemahan tertulis dalam suatu tayangan, lebih riang menonton versi layar
lebar dari sebuah cerita atau mendengarkan pembacaan puisi ataupun cerpen
daripada membaca teks tertulis atau bukunya sendiri, dan sederet realita yang
lain. Mengutip apa yang dikatakan Gunawan Susilo, norma dan etika sosial
masyarakat belum menempatkan tulisan sebagai bagian dari keberadaban.
Hal itu dibarengi
pula dengan penetrasi media elektronik yang dengan gencar dipublikasikan
dimana-mana semakin membuat media tertulis ditinggalkan. Mulai dari radio,
televisi, play station, media player game, handphone, sampai komputer sangat
memberikan pengaruh yang apabila tidak dapat menempatkannya pada tataran yang
sewajarnya, seseorang bisa saja terjebak ataupun diperbudak teknologi. Pada
dasarnya, teknologi diciptakan dengan tujuan untuk mempermudah kehidupan
manusia, sehingga segalanya bisa ter-automasi, canggih, cepat, dan efisien.
Namun sayangnya negeri ini bukanlah inovator sebagian besar kemajuan teknologi
tersebut, sebagian besar inovator tersebut berasal dari negara-negara maju,
seperti negara barat, Amerika, atau raksasa teknologi Asia, seperti Jepang dan
Cina. Sehingga bisa diraba bahwa masyarakat kita tidak siap dengan ledakan yang
begitu dahsyat, mengalir tanpa henti di tengah kegersangan inovasi dan
pengembangan budaya lokal yang saat ini terjadi. Alhasil, banyak yang menjadi
korban teknologi, berupaya west minded, mem’bebek’ life style
masyarakat negara maju, tetapi malahan salah tujuan.
Selain budaya
masyarakat yang pragmatis dan penggunaan teknologi yang tidak seimbang,
minimnya minat baca juga disebabkan oleh rendahnya produksi buku-buku yang
berkualitas di Indonesia, dan masih adanya kesenjangan penyebaran buku di
perkotaan dan pedesaan, yang mengakibatkan terbatasnya sarana bahan bacaan dan
kurang meratanya bahan bacaan ke pelosok tanah air. Definisi kualitas disini
bukan hanya secara fisik namun lebih pada pemenuhan kebutuhan masyarakat akan
ilmu yang tersaji dalam buku tersebut. Sebagai contoh indonesia adalah
masyarakat yang multi etnis, sedangkan buku yang menggambarkan keanekaragaman
Indonesia dan bagaimana menghargai perbedaan sangatlah minim, kalaupun ada,
formatnya tidak menarik masyarakat awam. Maka tak heran ketika banyak budaya
lokal yang dicaplok negara tetangga hanya sebagian kecil masyarakat yang merasa
tersinggung, peran media televisipun menjadi lebih kuat dalam membangun
nasionalisme ketimbang perpustakaan yang notabenenya gudang ilmu.
Hal terpenting dalam
meningkatkan minat masyarakat pada perpustakaan adalah dalam hal penyajian,
baik berupa layanan maupun buku-buku yang disajikan. Dengan masih banyaknya
buku-buku pengetahuan umum yang merupakan terjemahan tentu akan mempengaruhi
proses internalisasi pengetahuan, dan minat baca pada khususnya. Maka dari itu
budaya berkarya harus lebih digalakkan ketimbang budaya mengkritik, dan hal itu
dapat dimulai dari perpustakaan.
Bila disimpulkan
secara garis besar minimnya minat pada perpustakaan di Indonesia disebabkan
oleh 2 hal yaitu: budaya instan dalam masyarakat dan lingkungan global yang
tidak seimbang. Maka dari itu diperlukanlah strategi khusus berdasarkan 2
permasalahan diatas dalam menciptakan perpustakaan ideal yang mampu menciptakan
minat baca masyarakat.
Perpustakaan ideal
adalah perpustakaan yang mampu memenuhi kebutuhan pengguna artinya perpustakaan
tersebut mampu menyediakan informasi lengkap, dapat diakses kapan saja, dimana
saja dan dipandu oleh pustakawan yang profesional dan sekali lagi sesuai dengan
kebutuhan pengguna. Maka dari itu hal pertama yang harus diubah adalah
bagaimana mengubah image perpustakaan yang terkesan kaku dan
membosankan menjadi rekreasi pengetahuan yang menyenangkan.
Pada hakikatnya
semua manusia memiliki rasa ingin tahu pada sesuatu yang baru, terlebih hal itu
mendukung penghidupannya. Namun dengan adanya berbagai macam pilihan untuk
memenuhi hasrat ingin tahu tersebut tentu manusia akan memilih media yang ia
anggap paling menarik. Katakanlah televisi yang memiliki kelebihan audio visual
dalam menyampaikan informasi yang tentunya berbeda dengan buku yang hanya
menyajikan potensi visual yang sangat miskin warna, gerak dan lainnya.
Perkembangan teknologi informasi diabad ini seakan memepengaruhi hampir seluruh
kegiatan masyarakat dari sektor pertanian, industri, hingga pendidikan. Akses
informasi yang cepat seakan menjadi syarat wajib dalam mengarungi persaingan
global saat ini.
Begitu pula dengan
perpustakaan, dengan perkembangan teknologi saat ini ia dituntut mampu bersaing
dalam mendidik masyarakat secara lebih dinamis dan inovatif agar perannya tidak
diambil alih oleh maraknya game online, film dan media entertain yang
berorientasi bisnis lainnya. Maka dari itu wacana sistem perpustakaan digital
mulai banyak dikembangkan. Esensi dari perpustakaan digital adalah agar koleksi
perpustakaan lebih mudah diakses dan jangkauan aksesnya lebih luas. Karena itu
adalah salah besar kalau perpustakaan digital jadi lebih sulit diakses oleh
pemakai perpustakaan, dengan alasan apapun. Dengan adanya format perpustakaan
digital kuantitas koleksi perustakaan tak lagi terbatas pada tempat dan waktu,
selain kuantitasnya yang besar ia juga mempunyai peluang untuk menyediakan
layanan one stop service yang bisa diakses kapan saja.
Karena itu konsep
perpustakaan digital berbeda dengan Sistem Automasi perpustakaan. Sistem
automasi perpustakaan adalah implementasi teknologi informasi pada
pekerjaan-pekerjaan administratif di perpustakaan agar lebih efektif dan
efisien. Apa saja yang termasuk pekerjaan administratif di perpustakaan.
Diantaranya: pengadaan, pengolahan, sirkulasi (peminjaman, pengembalian),
inventarisasi, dan penyiangan koleksi, katalog terpasang, manajemen
keanggotaan, pemesanan koleksi yang sedang dipinjam, dan lain-lain.
Sedangkan sistem
perpustakaan digital adalah implementasi teknologi informasi agar dokumen
digital bisa dikumpulkan, diklasifikasikan, dan bisa diakses secara elektronik.
Secara sederhana dapat dianalogikan sebagai tempat menyimpan koleksi
perpustakaan yang sudah dalam bentuk digital. Kedua sistem ini kadang masih
banyak yang sulit membedakan, terutama bagi pustakawan, sebagai tokoh
utama yang berkecimpung dalam dunia kepustakaan. Kedua sistem ini harus
dipahami dan diimplementasikan secara berimbang agar dapat meningktakan tingkat
efisiensi perpustakaan.
Namun mengembangkan
sistem perpustakaan digital bukan tanpa masalah. Semakin besar volume dan
kompleksitas dokumen digital, maka akan mulai timbul masalah, yaitu pola
manajemen konten digital, diantaranya: pemeliharaan koleksi, temu kembali
informasi (information retrieval), dan klasifikasi. Solusi yang bisa
dilakukan antara lain: pembuatan prosedur standar untuk pemeliharaan koleksi,
pemeliharaan sistem temu kembali informasi (perbaikan algoritma), dan pembuatan
thesaurus.
Selain itu dengan
kemudahan akses pada perpustakaan digital patut juga diperhatikan aspek
legalitas koleksi yang akan ditawarkan. Maka dari itu para pengelola sistem
perpustakaan digital hendaknya memahami secara jelas masalah legal terkait
dengan konten digital yang dimasukkan kedalam sistem perpustakaan digital.
Selain kompleks, isu ini juga selalu merupakan isu utama dalam implementasi
perpustakaan digital di Indonesia. Salah satu wacana solutif yang bisa
ditawarkan adalah peran pemerintah dalam menciptakan produk hukum yang jelas
tentang perpustakaan digital.
Perpustakaan digital
memang sebuah wacana yang menarik, namun merujuk dari definisi perpustakaan
ideal diatas. Yaitu perpustakaan yang mampu memenuhi kebutuhan pengguna. Peran
Perpustakaan digital belumlah cukup karena ia baru sebatas memberikan
kemudahan akses dan kuantitas koleksi yang besar namun belum memenuhi kebutuhan
pengguna secara substansi. Untuk memenuhi apa yang dibutuhkan masyarakat baca
indonesia ini dapat dimulai dengan pola pikir “apa yang dibutuhkan masyarakat
Indonesia kini”? masyarakatnya multietnis, lebih gemar bercerita ketimbang berlogika,
lebih suka membaca dengan gambar ketimbang tulisan, baru dilanjutkan bagaimana
pola pikir masyarakat Indonesia secara umum, akibat berpikiran pragmatis dan
bagaimana masyarakat negara maju berpikir untuk menyejahterakan bangsanya.
Hal diatas adalah salah
satu dari contoh alur substansi buku yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat
dan bisa mereka pahami tanpa harus merasa digurui. Harus diakui Indonesia
bukanlah negara maju, yang masyarakatnya selalu berpikiran kedepan, masyarakat
kita mayoritas lebih cenderung memikirkan bagaimana dapat makan hari ini dan
hidup berkecukupan. Maka dari itu agar masyarakat kita terpancing untuk
berpikiran kedepan dengan tetap mengusung budaya lokal, perpustakaan di
Indonesia harus meyediakan buku yang berbicara tentang mereka dengan gaya
pemahaman mereka, agar minat baca mereka dapat tergugah. Dengan tujuan fungsi
perpustakaan tidak hanya menghasilkan orang-orang yang mahir mengkritik namun
juga mampu berkarya untuk kejayaan Indonesia.
Namun produksi
buku-buku yang sesuai dengan minat baca diatas tidak akan dapat terlaksana
tanpa kerjasama dari berbagai pihak yang terkait didalamnya. Antara lain
pemerintah, penulis, penerbit, lembaga pendidikan dan masyarakat pada umumnya.
Dari sini hendaknya perpustakaan yang ideal harus mampu menjadi jangkar bagi
hubungan kelima pihak diatas. Bayangkan hampir setiap pameran buku atau book
fair selalu ramai dikunjungi oleh masyarakat sedangkan perpustakaan sangat
lengang. Hal ini membuktikan belum adanya kerja sama yang optimal antara penerbit
dan perpustakaan. Selain itu dalam setiap seminar dan pelatihan menulis yang
selalu dapat menghadirkan penulis ternama sebagai penarik minat masyarakat,
lalu kenapa perpustakaan tidak berpikiran hal yang sama.
Bentuk kerja sama
ini dapat dimulai dari membuat sinergi jaringan yang positif dalam
menyelenggarakan suatu even. Perpustakaan dengan pustakawannya, toko buku,
penerbit dan penulisnya dapat menjadi panitia penyelenggara acara-acara seperti
Book Fair, Cuci Gudang Buku, Seminar, Kompetisi Membaca, Meresensi,
Menulis, Mendongeng, Diskusi Interaktif mingguan, Bengkel Penulisan Kreatif,
Bedah Buku, Pertemuan Presensi, Penulis, dan Pembaca, serta sosialisasi
masyarakat melalui pembinaan-pembinaan keluarga yang terhimpun dalam
kelompok-kelompok guna menumbuhkan minat membaca. Sosialisasi perlu dilakukan
mengingat minat membaca akan muncul berawal dari motivasi diri sendiri yang
tidak dapat dipaksakan oleh orang lain. Pembuatan Koran Kecil yang khusus
diterbitkan untuk kalangan anak-anak juga perlu untuk dicoba.
Inovasi – inovasi
seperti inilah yang dibutuhkan perpustakaan di Indonesia agar ia dapat hidup
dan berkembang dalam meningkatkan minat baca masyarakat serta dapat menjadi
rumah dunia yang selalu dikunjungi masayarakat yang penasaran akan luasnya ilmu
pengetahuan. Dan mampu bersaing dengan ditengah arus hedonisme yang begitu kuat
dalam perkembangan teknologi informasi.
Kesimpulan
Esensi perpustakaan
sangat penting sebagai media pmebelajaran yang murah dan efisien dalam
menyajikan ribuan referensi dan informasi yang membuka wawasan, pengetahuan,
serta cakrawala berpikir, dan pendamping proses pembelajaran seumur hidup.
Namun dengan budaya masyarakat indoensia yang masih pragmatis dan perkembangan
teknologi yang tidak seimbang membuat peran perpustakaan kian terpinggirkan.
Karena itu pola
perpustakaan yang ideal kedepannya dapat menggunakan sistem perpustakaan
digital yang sudah dilengkapi regulasi yang jelas terutama pada aspek legalitas
koleksi yang akan ditawarkan agar tidak ada lagi keragu-raguan dalam
mengimplementasikan konsep tersebut. Selain itu perpustakaan digital juga
mempunyai peluang dalam menyediakan layanan one stop service bagi
masyarakat baca indonesia.
Selanjutnya
sinergisitas antara pihak-pihak yang terkait dengan perpustakaan seperti penulis,
penerbit, pustakawan, masyarakat hingga pemerintahpun perlu ditingkatkan
terutama dalam rangka memproduksi buku-buku yang inovatif yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat serta dalam mengadakan even-even ilmiah yang medukung
kegiatan baca tulis. Dengan harapan keunggulan masing-masing pihak dapat
bersinergi dalam meningkatkan minat baca masyarakat dan menyediakan
perpustakaan yang ideal. Yaitu Perpustakaan ideal yang diharapkan adalah
perpustakan yang mampu menyajikan rekreasi yang menyenangkan dalam berwisata
menjelajah ilmu pengetahuan sehingga indoensai dapayt emncapaui masayarakat
madani ditahun 2009.
Referensi
Manfaat
‘Knowledge Management’, Media Indonesia, 26 Agustus 1999
Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 2003 Tentang Tunjangan
Jabatan Fungsional Pustakawan.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan
“Salah Kaprah
Perpustakan Dijital di Indonesia”. Create on Senin, 16 Juni 2008 by ajick
di unduh dari http://pustaka.uns.ac.id diakses tanggal 13 september 2009
“Indonesia,
Buku, dan Budaya Membaca” di unduh dari http://pustaka.uns.ac.id diakses
tanggal 13 September 2009
Penulis: M.
Maulana Hamzah
Yogyakarta
No comments:
Post a Comment